Hingga Juli 2021, Trend Pernikahan Dini di Bolsel Alami Kenaikan

Pernikahan Dini
Pernikahan Dini Bolsel.

FENOMENA pernikahan dini sepertinya menjamur di tengah mewabahnya generasi kedua pandemi covid-19. Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) saja, Pengadilan Agama (PA) setempat telah mencatat sepanjang Januari hingga Juli 2021, sudah menerima 58 permohonan dispensasi kawin (Perhatikan Chart).

Dispensasi kawin adalah keringanan yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan pernikahan atau biasanya disebut pernikahan dini.

Angka tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan 2020 yang hanya tercatat 37 kasus.  Angka di tahun 2020 juga mengalami penurunan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hasil rekapan PA Bolsel menyebutkan, 2019 yang tercatat berjumlah 77 kasus.

Satu hal yang menjadi catatan PA Bolsel terkait data tersebut, mayoritas permohonan dispensasi kawin diajukan oleh pihak perempuan.

Menurut Humas PA Bolsel, Nanang Soleman S.HI, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga PA mengeluarkan dispensasi kawin, dan yang paling sering terjadi di Bolsel terkait pertimbangan norma sosial ataupun agama.

“Rata-rata alasannya mendesak. Biasanya si perempuan hamil duluan, atau hubungan antara pasangan sudah dekat, sehingga perlu diberikan dispensasi agar tidak melanggar norma agama,” urainya.

Kendati demikian, Nanang mengaku tidak serta merta pihak yang mengajukan permohonan dispensasi kawin langsung disetujui oleh PA, tetapi ada batasan-batasan ataupun syarat yang harus dipenuhi.

“Pemohon harus memasukan bukti autentik dan menghadirkan pihak wali. Salah satu contohnya jika alasan pemohon hamil. Maka mereka harus memasukan bukti berupa surat keterangan dokter,” ungkapnya saat ditemui di kantornya, Selasa 3 Juli 2021.

Menanggapi fenomena ini, Pengamat Sosial asal Sulwesi Utara (Sulut), Adlan Ryan Habibie S.HI. M.Ag yang dihubungi bumantara.id mengatakan, pernikahan anak seharusnya menjadi pilihan terakhir (ultimum remedium). Peningkatan dispensasi perkawinan dinilainya harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. “Lima tahun terakhir secara nasional naik delapan kali lipat, atau kurang lebih 750 persen. Ini menandakan, keputusan Mahkamah Konstitusi menaikkan usia kawin menjadi kurang efektif,” ujarnya.

Ryan, sebagaimana pengamat ini biasa disapa juga menjelaskan, upaya DPR dalam merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun tahun 2019 sejak 14 Oktober silam. Sebenarnya aturan itu ditujukan untuk mencegah perkawinan anak.

“Sebelum revisi aturan menyebutkan perempuan boleh menikah setelah berusia 16 tahun, sedangkan laki-laki setelah menginjak usia 19 tahun. Sekarang, baik perempuan atau laki-laki hanya bisa menikah setelah sama-sama menginjak 19 tahun,” jelasnya.

Menurut Ryan, pemerintah seharusnya meningkatkan sosialisasi ke masyarakat baik dari segi regulasi dan pernikahan dini itu sendiri. “Sosialisasi kebijakan perlu dilakukan secara maksimal. Adapun lembaga-lembaga yang bertanggung jawab memberikan dispensasi perkawinan harusnya diperketat lagi,” sentilnya.

Meski demikian, ada beberapa faktor yang datangnya dari masyarakat itu sendiri, diantaranya anak perempuan telah hamil duluan, resiko anak pasca berhubungan seksual, pasangan saling mencintai.

“Selain pemerintah, peranan orang tua sebenarnya adalah yang utama. Karena tidak sedikit orang tua beranggapan bahwa anak berisiko melanggar norma agama dan sosial atau untuk menghindari zina ditengarai menjadi alasan pengabulan permohonan perkawinan,” pungkasnya. ***

Komentar Facebook
Bagikan

Baca Juga

Antisipasi Cuaca Ekstrem, Pemkab Bolsel dan Polres Gelar Apel Kesiapsiagaan Tanggap Bencana

BUMANTARA.NET, BOLSEL – Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) bersama jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah …