Oleh: Cakra Wahyudi (Ketua KPMIBMS)
ADALAH suatu kenyataan bahwa Bangsa kita terdiri atas banyak latar belakang suku dan budaya. Segala bentuk pertalian dan upaya gotong royong pun sering dilakukan demi mendorong terciptanya keharmonisan. Artinya, kemajemukan ini tidak menghalangi kita untuk bersatu.
Ragam literatur juga telah menyebutkan, bahwa dengan adanya hubungan dan pembauran pada jaman kerajaan kala itu, percampuran suku bangsa, adat istiadat atau tradisi telah terjadi lewat pernikahan, perdagangan dan sebagainya.
Akibatnya, secara horizontal kemajemukan dalam masyarakat kita – seharusnya – sejak lama sudah semakin terikat.
Namun, itu bukan berarti tidak adanya diferensiasi budaya di tengah-tengah kita. Sejak lahir kita telah diberi identitas kepercayaan dan kebudayaan oleh keluarga.
Tumbuh dengan pola sosial dan kebudayaan tertentu tersebut, menyebabkan kecenderungan dalam individu masyarakat kita untuk terus mempertahankan identitas kebudayaannya masing-masing.
Bertanggung jawab melestarikan dan mempertahankannya menjadi syarat wajib setiap generasi berikutnya.
Paguyuban
Secara singkat paguyuban di bentuk atas dasar ikatan kekerabatan dan persatuan oleh kelompok masyarakat yang beridentitas sama.
Definisi tersebut terbukti dengan fenomena paguyuban hari ini. Sebab suatu kelompok masyarakat dengan latar identitas yang sama mudah terintegrasi serta terjamin terciptanya solidaritas yang tinggi, murni dan alami.
Identitas tersebut bisa saja diartikan kebudayaan, keturunan atau keluarga, kepercayaan ataupun unsur-unsur lainnya yang bersifat mengikat.
Bagi penulis, paguyuban mahasiswa kedaerahan hari ini tumbuh dengan nilai dasar yang beragam. Ada yang dibentuk atas dasar kebudayaan serta ada pula atas unsur kepentingan teritorial.
Keduanya berbeda dan harus dipertegas. Dengan kebudayaan, eksistensi serta citra gerakan yang ditunjukkan biasanya tidak lari dari satu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat tertentu.
Artinya, paguyuban-paguyuban di perantauan seperti yang dimaksud ini –kebanyakan– hanya di isi oleh mahasiswa dengan satu kebudayaan yang sama.
Terbuka dan cocok dengan orang-orang dari wilayah yang berbeda, namun dengan ketentuan memiliki latar belakang budaya dan adat istiadat yang sama pula.
Berbeda dengan definisi paguyuban yang satunya. Maaf bila penulis menamainya sebagai paguyuban teritorial. Sebab bentuk wadah ini di perantauan memang di isi oleh mahasiswa dari latar belakang daerah yang sama, namun bukan berarti dengan nilai kebudayaan atau adat istiadat yang sama.
Latar belakang identitas kebudayaannya bercampur. Bentuk paguyuban seperti ini kurang relevan bila di isi oleh orang-orang dari daerah lain.
Sebab visi dan misi besar paguyuban-paguyuban teritorial biasanya terfokus pada pengawasan dan tindakan-tindakannya dalam mengawal kebijakan di daerah asal.
Selain itu, jenis paguyuban seperti ini juga dituntut untuk lebih mengedepankan proses integrasi dari berbagai macam kebudayaan yang ada.
Kalaupun ada orang lain yang berbeda wilayah bergabung dengan paguyuban yang bukan dari wilayah asalnya, bisa saja ia masuk karena ada corak kebudayaan yang sama dan cocok di sana.
Karena biasanya ada juga paguyuban kedaerahan yang dibentuk atas dasar teritorial namun juga hanya memiliki satu corak kebudayaan.
Perbedaan paling mencolok diantara keduanya menurut penulis, ada pada konflik dan pola interaksi yang dihasilkan. Pada definisi paguyuban yang pertama, konflik yang dihasilkan biasanya muncul pada situasi dimana norma ataupun adat istiadat yang seharusnya dipakai, mulai luntur dan diabaikan.
Prosesi adat tidak lagi digunakan dalam mengambil setiap keputusan atau kegiatan. Yang mengakibatkan tindakan setiap anggota tidak lagi sesuai dengan norma yang seharusnya berlaku.
Olehnya, itu menjadi suatu kemunduran bagi paguyuban-paguyuban yg berdiri atas dasar identitas kebudayaannya yang sama.
Sedangkan paguyuban dengan latar belakang kepentingan teritorial yang dimaksud di atas, karena di ikuti oleh mahasiswa dengan ragam kebudayaan yang berbeda, maka konflik yang dihasilkan biasanya muncul akibat minimnya menghargai keberagaman di dalamnya.
Yang menghasilkan terjadinya proses disosiatif, atau proses persaingan yang tidak lagi sehat dan kontroversial.
Lahirnya paguyuban-paguyuban teritorial ini juga ditandai dengan upaya pemekaran yang terjadi di satu daerah. Entah itu dibentuk untuk mendorong pemekaran, ataupun lahir setelah pemekaran untuk merawat identitas teritorialnya yang baru.
Pada pola interaksi sosial sendiri, hubungan yang lebih erat sangat mudah dibangun pada paguyuban-paguyuban yang berlandaskan pada kesamaan kebudayaan.
Meski berbeda wilayah, sangat kecil batasan solidaritas yang dihasilkan akibat kekentalan internalnya. Dan untuk paguyuban dengan landasan teritorial atau daerah, interaksi sosial yang dihasilkan hanya bergantung pada kepentingan apa yang menguntungkan semua kelompok etnis di bawahnya.
Intinya, paguyuban itu sendiri garis besarnya merupakan kesepakatan untuk hidup bersama secara nyata dan teroganisir.
Di sisi lain pula, paguyuban mahasiswa kedaerahan yang dilandasi oleh latar belakang budaya atau teritorial juga sama-sama hadir dengan cita-cita yang sama sebagai agen perubahan dari dalam maupun luar kampus. Serta sama-sama membutuhkan loyalitas.
Primordialisme
Konflik kerap juga mewarnai upaya-upaya dalam mewujudkan integrasi. Salah satunya adalah sikap primordial.
Wajah primodialisme sendiri sebenarnya adalah bentuk dari mempertahankan kelompok.
Lahir dengan sebuah identitas dan tradisi serta kebudayaan yang berbeda, mewajibkan kita untuk terus menjunjung tinggi kebudayaan dengan kesetiaan yang tinggi menurut identitas budaya masing-masing.
Identitas sendiri merupakan hal yang disematkan ketika kita lahir. Hal itulah yang mempengaruhi pola perilaku kita dalam kehidupan sosial.
Latar belakang agama, suku, etnis, bahkan ras menentukan cara pandang kita di masyarakat.
Penulis melihat bahwa, paguyuban-paguyuban yang lahir dan terbentuk atas dasar kesamaan kebudayaan, sebenarnya merupakan cara mempertahankan kebudayaan, prinsip, identitas, serta tata nilai tertentu secara bersama-sama di perantauan, dalam bentuk wadah atau organisasi.
Yang berarti bahwa, sebegitu penting identitas bagi kita, untuk saling memperjuangkan kesamaan nasib.
Pula di sisi lain, dengan sikap mempertahankan identitas kebudayaannya dengan sangat tinggi, itu kadang dapat memicu terjadinya sikap primordial terhadap orang-orang diluar dari identitas atau kelompoknya.
Konsep primordial pada dasarnya merujuk kepada pemikiran yang mengutamakan kepentingan kelompok.
Furnivall dalam studinya juga mengatakan, bahwa dalam setiap masyarakat pasti ada potensi konflik. Dan hal tersebut biasanya merupakan konflik kepentingan antar berbagai kelompok.
Fenomena tersebut tidak hanya beresiko terjadi pada interaksi paguyuban antar kebudayaan. Tapi justru menjadi ancaman pada paguyuban-paguyuban yang sifatnya teritorial.
Seperti penjelasan di atas, kelompok mahasiswa ini terbentuk dengan ragam kebudayan yang berbeda menurut kelompok etnis apa saja yang mendiami daerah tersebut.
Misalnya Bolaang Mongondow Selatan. Diperkirakan ada sekitar 4 kebudayaan atau suku besar berdiri di sana. Gorontalo, Bolango, Mongondow, serta Sanger.
Olehnya, paguyuban yang terbentuk atas nama Bolaang Mongondow Selatan di perantauan, sebagian besarnya berdiri dengan populasi mahasiswa dari 4 latar belakang kebudayaan tersebut.
Dan itu sangat mengancam kedaulatan kelompok bila ada sikap primordialisme yang tinggi di salah satu kelompok etnis di dalam tubuh paguyuban.
Anggapan penulis, akibat pluralitas lah yang sebenarnya mendorong kita untuk mempertahankan identitas. Dan itu sebenarnya tidak salah dan bukan hal yang negatif.
Yang salah itu apabila, identitas atau kelompok kita ini dimobilisasi atau diperalat untuk mengamankan kepentingan kita diantara kelompok-kelompok lainnya.
Di Gorontalo sendiri, di periode ini penulis sedang memimpin paguyuban kedaerahan Bolaang Mongondow Selatan. Tantangan yang datang biasanya seperti yang penulis jelaskan di atas sebagai paguyuban yang berdirinya karena sikap teritorial – mendorong pemekaran pada saat itu.
Akibat dari visi besarnya mendorong pemekaran telah tercapai, akhirnya di beberapa tahun terakhir kami mengalami diferensiasi gerakan yang berbeda. Tugas kami memang tinggal mempertahankan, mangawasi dan merawat keberagaman yang ada di daerah dan di tubuh paguyuban itu sendiri.
Olehnya, yang terpenting bagi penulis dan kawan-kawan saat ini adalah, mempertahankan identitas kedaerahan, bukan identitas kebudayaan.
Namun, ancaman tetap saja datang. Berproses dan memimpin paguyuban saat ini, memberi waktu untuk penulis akhirnya meneliti dan memahami penyebab sikap primodialisme mudah terjadi di tubuh paguyuban yang basisnya teritorial seperti Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow Selatan (KPMIBMS) di Gorontalo.
Penyebab utamanya bukan hanya karena keberagaman budaya, tapi juga karena jumlah paguyuban per-kecamatan di bawahnya yang juga ikut didirikan saat ini.
Sebab itu, gerakan kita hari ini lebih banyak waktu dihabiskan hanya untuk mengintegrasikan segala macam kelompok yang ada dan meninggikan nilai konsensus untuk saling menghargai.
Mengutip yang disampaikan Patji’, Ia menegaskan bahwa kecenderungan melakukan penyeragaman terhadap suatu masyarakat bangsa dan negara yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, agama, dan kebudayaan, akan selalu berarti
mengingkari atau mengabaikan makna keunikan (uniqueness), kekhasan,
serta perbedaan yang ada dan berkembang di dalamnya.
Bila di salah artikan penyampaian di atas, maka setiap kelompok paguyuban-paguyuban ini akan merasa berintegritas tinggi bila mereka justru lebih mempertahankan identitas kecilnya dibanding sama-sama berada merawat dentitas kedaerahan yang lebih besar dan sudah ada.
Semudah pernyataan seperti: Berpaguyuban itu seperti kembali ke rumah. Berproses di manapun Anda, tetap kembalilah ke rumah, ke paguyuban.
Pertanyaannya selanjutnya: Rumah mana yang dimaksud di sini? Apakah itu kembali ke rumah-rumah kecil di bawah identitas paguyuban yang besar?
Padahal kesadaran membangun identitas kedaerahan yang lebih besar itu seperti perumpamaan penulis yang satu ini:
Paguyuban kabupaten itu adalah rumah yang sangat besar.
Yang didalamnya terdapat ruang dan kamar-kamar dari latar teritorial kecamatan ataupun kebudayaan yang berbeda.
Tinggal bagaimana cara kita membagi ruang dan membangun keharmonisan di dalamnya.
Atau, kalau paguyuban-paguyuban dibawahnya ini menganggap mereka juga adalah rumah untuk kelompok kecilnya, maka bayangkan saja kita semua berada pada satu komplek atau pemerintahan wilayah yang sama.
Dengan pinsip bahwa kita saling bertetangga, terikat oleh regulasi yang tercipta, ada kemudahan berinteraksi, serta merasa berkeluarga dan hidup rukun.
Kalau perumpamaan di atas terasionalisasikan oleh kita semua, penulis pikir ini akan menurunkan nilai primordial dan justru meningkatkan kualitas keberagaman.
Sebab itu sebenarnya yang ingin kita capai. Namun sebaliknya, bila perumpamaan ini tidak dipakai, maka yang akan lahir hanyalah solidaritas-solidaritas ataupun tindakan-tindakan yang semu yang sifatnya terlalu sementara dan syarat kepentingan.
Solidaritas semu
Barangkali menarik untuk disimak dan dicermati; menghargai keberagaman, pendapat, serta cara pandang di tubuh paguyuban Bolaang Mongondow Selatan saat ini di Gorontalo, masih merupakan cita-cita yang belum terwujud dan harus diperjuangkan. Hal tersebut karena kita gagal memahami arti rumah dan nasionalisme itu sendiri.
Meminjam penjelasan soal konflik pada masyarakat majemuk di Indonesia menurut Furnivall. Menurutnya, satu potensi konflik yang tidak akan berakhir di Indonesia, yaitu cara kita memahami nasionalisme yang salah.
Hal tersebut mengancam apabila, nasionalisme akan berakhir dengan mempertentangkan satu komunitas etnis melawan satu komunitas etnis lainnya. Dan demikian justru memperparah, bukan memerdekakan.
Misalnya pada pesta-pesta demokrasi seperti pemilihan ketua paguyuban kabupaten yang baru, bentuk mobilisasi kelompok dan konsolidasi-konsolidasi yang dilakukan justru tidak membebaskan individunya memilih siapa atau orang di luar dari kelompoknya.
Dan malah memperbesar pertentangan ataupun gap di tengah kelompok mahasiswa yang seharusnya hidup rukun di perantauan.
Sedangkan perjuangan para pendiri paguyuban saat itu, membuat paguyuban dengan identitas kedaerahan yang lebih besar.
Itu sebenarnya agar kita menyadari bahwa kemerdekaan itu bukan hanya untuk mendorong pemekaran Bolaang Mongondow Selatan, tapi juga membebaskan kita pada sekat kebudayaan dan teritorial-teritorial kecil di bawah identitas kabupaten.
Lagi-lagi kesadaran kita adalah membangun identitas kedaerahan (kabupaten) bukan identitas kebudayaan.
Nah, akibat kesalahan kita yang selalu mengira ada dominasi kebudayaan dan politik muncul di tengah-tengah kita, akhirnya itu memberi ruang besar pada sikap primordial dan tidak pluralis dalam cara berpaguyuban kita. Dan solidaritas-solidaritas yang dihasilkan pula semuanya terlalu momentual.
Penulis dan kawan-kawan pernah mangalami hal ini. Dan ancamannya masih sampai sekarang. Tapi kami bukan yang pertama mengalami, di generasi-generasi sebelumnya juga ada. Justru terkonfirmasi lebih parah dan konfliknya lebih berkepanjangan.
Makanya di atas penulis menjelaskan, bahwa tidak ada yang salah dengan mempertahankan identitas. Yang salah itu adalah memperalat identitas yang kita miliki. Dengan begitu, kita kesulitan memilah yang mana masalah yang sifatnya individu dengan individu, kelompok dengan individu dan mana yang antar kelompok.
Semuanya menjadi pertentangan antar kelompok. Kira-kira seperti itu yang pernah terjadi. Solidaritas semu sendiri merupakan bentuk tidak baku dari sebuah bentuk kelompok orang-orang yang sedang memperjuangkan tujuan yang sama.
Biasanya ciri orang-orang dengan sikap solidaritas semu seperti ini berupa: pura-pura loyalis, minim kontribusi, oportunis, terlalu mempertahankan pendapat dari golongannya, serta tidak bertahan lama dan kurang konsisten.
Sikap solidaritas semu sendiri bukan hanya terjadi diantara individu dan kelompok, tapi juga pada antar kelompok.
Dengan pengalaman-pengalaman di atas, sikap saling percaya antar paguyuban maupun individu mahasiswa Bolaang Mongondow Selatan di Gorontalo pun mulai menurun dan mengakibatkan adanya solidaritas-solidaritas semu di dalamnya. Konsolidasi yang dibangun hanya tergantung pada siapa saja yang merasa diuntungkan.
Bukan atas dasar kesamaan nasib dan identitas mahasiswa Bolaang Mongondow Selatan di Gorontalo.
Olehnya, teknis-teknis berpaguyuban di bawah KPMIBMS ini harus berakhir dengan formula federasi pluralis menurut penulis. Yaitu bentuk pluralitas yang tidak mengarah pada konsep pembauran sehingga elemen-elemen yang ada di dalam mahasiswa itu berdiri sendiri-sendiri.
Tapi tetap merupakan kesatuan politik yang seharusnya didasarkan pada kehendak bersama. Artinya, biarkan kita melestarikan kebudayaan masing-masing dan membesarkan paguyuban teritorial kecamatannya masing-masing.
Asal hal tersebut tidak berakhir dengan memperalat kelompok masing-masing demi kepentingan yang terlalu naif yang mangabaikan kelompok lain di tengah-tengah kita. Loyalitas dalam merawat paguyuban KPMIBMS harus lebih tinggi demi membuktikan sikap kita yang menghargai perbedaan. Bukan demi kepentingan dan dominasi politik semata.
Kita harusnya tetap terkoordinasi dan melahirkan konsolidasi yang nyata atas kesadaran yang sama. KPMIBMS sendiri saya ambil sebagai contoh besar dalam penulisan ini. Sebab ia sangat cocok bila digambarkan.
Dikarenakan KPMIBMS merupakan paguyuban kedaerahan yang sifatnya teritorial, dengan dibawahnya terdapat paguyuban-paguyuban yang menurut identifikasi penulis terdiri dari beberapa paguyuban kecamatan (teritorial), etnis/kebudayaan, serta paguyuban yang basisnya teritorial sekaligus etnis. ***