Kekerasan Perempuan di Tengah Himpitan Pandemi Covid-19

Kekerasan Perempuan
Ilustrasi Kekerasan Perempuan.

PADA tahun 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi penurunan drastis jumlah kasus selama masa pandemi covid-19.

Dilansir dari catatan tahunan Komnas Perempuan 2021. Pada tahun 2020 terjadi penurunan sebesar 31%. Dimana terdapat 299.911 kasus. Angka itu turun drastis jika dibandingkan dengan tahun 2019 sebelumnya, yakni 431.471 kasus.

Dari grafik di atas, bisa dilihat sejak tahun 2016 angka KTP terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sampai pada 2020 jumlah kasus mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Komnas Perempuan dalam catatan tahunan tersebut meyakini, penurunan angka kasus KTP di masa pandemi, tidak benar-benar merujuk pada penurunan kasus yang sesungguhnya, melainkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi.

Sebagian faktor disebutkan Komnas Perempuan dikarenakan adanya penyesuaian pada sistem layanan selama pandemi, seperti contoh dari tatap muka ke online yang butuh waktu beradaptasi.

Demikian juga disebut berpengaruh pada upaya peraduan dari para korban, serta penundaan proses persidangan karena Pemberlakuan, Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) seperti saat ini.

Komnas Perempuan juga mencatat, kebanyakan dari para korban KTP memilih mengadu pada lembaga layanan non pemerintah. Alasannya, lembaga pemerintah dianggap lebih fleksibel dan gampang menyesuaikan selama pandemi Covid-19.

Penurunan pada tahun 2020 tehadap laporan pengaduan korban ke lembaga pemerintah seperti kepolisian, hal itu diduga terjadi karena adanya kendala sistem dan pembatasan sosial. Pasalnya, di tahun yang sama Komnas Perempuan justru menerima kenaikan pengaduan.

Tahun 2019, laporan yang masuk ke Komnas Perempuan ada 1.419 kasus, namun pada 2020 meningkat sebanyak 2.389.

Kasus KTP Lebih Banyak Ranah Pribadi

Mengacu pada data Komnas juga, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79% (6.480 kasus).

Dari kasus tersebut, terdapat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

KTP berikutnya adalah di ranah komunitas/publik sebesar 21 persen (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari pencabulan (166 kasus), perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain.

Namun ada hal yang perlu diperhatiakan adalah kasus inses. Meskipun jauh menurun di tahun 2020 yaitu sebesar 215 kasus, (tahun lalu 822 kasus), tetap perlu menjadi perhatian besar karena secara berturut-turut muncul sejak tahun 2016 (sebelumnya tidak ada).

Ini Kata Psikolog

Sejalan dengan hasil catatan Komnas Perempuan tentang KTP di masa pandemik, Psikolog Indri Dilapanga M.Psi juga membenarkan, turunnya jumlah kasus di masa pandemi tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai berkurangnya kasus kekerasan terhadap perempuan.

Menurut Indri, masa pembatasan aktifitas masyarakat selama pandemi Covid-19 yang berkepanjangan bisa berdampak di internal rumah tangga. Hal ini lantas membuat para perempuan dan anak rentan mengalami kekerasan di rumah. “Mereka membutuhkan perhatian dari semua pihak, terutama pemerintah,” ungkapnya.

Contoh lainnya, perubahan sistem pelayanan di lembaga pemerintah, sehingga keluarga sulit melaporkan. “Seperti kasus KDRT, pembatasan sosial menyebabkan korban dan pelaku harus sama-sama berada di rumah. Ini membuat kesulitan melakukan pengaduan sehingga berpotensi membuat korban lebih memilih diam,” imbuhnya.

Di sisi lain, Indri Dilapanga juga mengatakan, intensitas pertemuan suami-istri yang lebih banyak di tengah pembatasan sosial juga bisa berdampak gesekan.

“Kondisi ini terjadi karena adanya perubahan gaya hidup secara tiba-tiba sehingga berdampak pada ketidak stabilan mental. Emosi yang tidak stabil yang dibarengi intensitas pertemuan yang keseringan akan memicu pertengkaran.” ungkapnya.

Menutup penjelasannya, Indri mengatakan, hal umum yang paling sering menjadi pemicu KDRT di tengah PPKM seperti pendapatan berkurang.

“Banyak hal yang mempengaruhi berkurangnya pendapatan di tengah pandemi, salah satunya nganggur atau tidak kerja sementara kebutuhan harus tetap dipenuhi. Dalam kondisi ini, kalangan menengah ke atas mungkin saja bisa bertahan, tetapi yang pas-pasan bagaimana?” sentilnya.

Beberapa faktor lainnya juga sangat berpengaruh, seperti keterbatasan literasi teknologi. “Layanan pengaduan yang berbasis online sebenarnya lebih mempermudah, karena bisa mengadu tanpa harus ke kantor. Tetapi sayangnya, itu hanya berlaku bagi mereka yang melek teknologi,” pungkas Psikolog yang sering memberikan pendampingan kepada korban pelecehan seksual bawah umur di wilayah Bolaang Mongondow Raya ini. ***

Komentar Facebook
Bagikan

Baca Juga

Bupati Bolsel Terima Kunjungan BPKP Sulut, Bahas Pembangunan Daerah

BUMANTARA.NET, BOLSEL — Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) menerima kunjungan kerja dari Badan Pengawasan …